0

Bentuk Tindak Pidana Perpajakan dan Ketentuan Pemblokiran Harta Kekayaan Menurut UU KUP dan PMK 17/2025

Tindak pidana perpajakan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara, baik karena kealpaan maupun kesengajaan. Dalam konteks penegakan hukum perpajakan, Undang–Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 memberikan batasan tegas mengenai bentuk tindak pidana serta sanksi yang menyertainya. Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun 2025 mengatur lebih lanjut mengenai upaya paksa dalam penyidikan, termasuk pemblokiran dan penelusuran harta kekayaan.

Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perpajakan dalam UU KUP

Tindak Pidana Perpajakan yang Dilakukan Karena Kealpaan (Pasal 38)

Pasal 38 mengatur tindak pidana yang terjadi karena kelalaian, bukan karena niat jahat. Perbuatan ini tetap dipandang berpotensi merugikan negara. Bentuk perbuatannya dapat berupa a.) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), b.) Menyampaikan SPT namun isinya tidak benar, tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar. Perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi berupa denda paling sedikit 1 (satu) dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Kealpaan tetap dikenai sanksi pidana sebagai wujud penegakan hukum preventif untuk menjaga kepatuhan wajib pajak.

Tindak Pidana Perpajakan karena Kesengajaan (Pasal 39)

Pasal 39 menegaskan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga memiliki konsekuensi pidana yang lebih berat. Bentuk Perbuatannya dapat berupa:

  1. Tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP.
  2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP.
  3. Tidak menyampaikan SPT.
  4. Menyampaikan SPT atau keterangan tidak benar/tidak lengkap.
  5. Menolak pemeriksaan pajak.
  6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen palsu.
  7. Tidak menyelenggarakan pembukuan/catatan.
  8. Tidak menyimpan buku/catatan/dokumen dasar pembukuan.
  9. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Tindakan tersebut dapat dikenai sanki berupa pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sampai dengan maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda 2 sampai dengan 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar juga dapat dikenai Pidana Tambahan sebagaimana (39 Ayat 2): Jika pelaku mengulangi tindak pidana dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak menyelesaikan pidana penjara, sanksi diperberat menjadi dua kali.

Tindak Pidana dalam rangka permohonan Restitusi (Ayat 3):

Bagi setiap orang ataupun korporasi yang mencoba menyalahgunakan NPWP/PKP atau menyampaikan data tidak benar dalam permohonan restitusi atau kompensasi pajak dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Tindak Pidana Terkait Faktur Pajak (Pasal 39A)

Pasal 39A secara khusus menangani kejahatan yang sering terjadi dalam praktik, yaitu penerbitan dan penggunaan faktur pajak fiktif. Bentuk perbuatannya dapat berupa menerbitkan atau menggunakan faktur/bukti pemungutan/pemotongan/setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tanpa dikukuhkan sebagai PKP. Terhadap perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun paling lama  6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak yang tercantum dalam faktur atau bukti terkait.

Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Pengamanan harta kekayaan tersangka tindak pidana perpajakan merupakan bagian penting dalam proses penyidikan tindak pidana perpajakan untuk mencegah pelaku memindahkan, mengalihkan, atau menyembunyikan aset yang dapat digunakan untuk memulihkan kerugian negara.

Definisi Pemblokiran (Pasal 1 angka 31 PMK 17/2025)

Pemblokiran adalah tindakan pengamanan barang yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain, yang meliputi rekening bagi bank, subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan/atau entitas lain, dengan tujuan agar terhadap barang dimaksud tidak terdapat perubahan apa pun, selain penambahan jumlah atau nilai.

Definisi Penyitaan (Pasal 1 angka 32 PMK 17/2025)

Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan/atau jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Dasar Pemblokiran (Pasal 10 PMK 17/2025)

Pemblokiran harta kekayaan tersangka dalam tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 10 PMK 17/2025 tentang Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang bertujuan untuk pembuktian atau jaminan pemulihan kerugian negara, permintaan pemblokiran dimaksud disampaikan kepada instansi pengelola data harta kekayaan seperti BPN untuk asset kekayaan berupa tanah dan bangunan, Bank untuk asset berupa kekayaan dalam bentuk uang, POLRI apabila harta kekayaan berupa kendaraan bermotor dan instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan pelaku tindak pidana perpajakan. Pemblokiran dimaksud dapat diminta untuk dibukakan apabila sudah tidak diperlukan lagi.

Penelusuran Harta Kekayaan (Pasal 12 PMK 17/2025)

Penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penelusuran harta kekayaan sebagai dasar tindakan pemblokiran atau penyitaan. Penelusuran ini mencakup identifikasi asal-usul, keberadaan, dan kepemilikan harta kekayaan, sehingga memungkinkan penyidik menelusuri aliran aset secara menyeluruh. Dengan kewenangan tersebut, penyidik dapat melacak harta yang disamarkan, dialihkan, atau ditempatkan pada pihak ketiga, guna memastikan bahwa seluruh aset yang terkait tindak pidana tetap dapat diamankan untuk kepentingan pembuktian maupun pemulihan kerugian negara.

Siapa yang Hartanya Dapat Diblokir atau Disita?

Walaupun PMK 17/2025 tidak mengatur secara eksplisit mengenai subjek harta yang dapat diblokir atau disita, praktik penegakan hukum dan ketentuan pidana yang berlaku menunjukkan bahwa kewenangan tersebut dapat mencakup berbagai pihak. Harta kekayaan tersangka, baik orang pribadi maupun korporasi, dapat diblokir atau disita sepanjang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. Harta korporasi juga dapat dikenai blokir apabila korporasi menjadi pelaku atau memperoleh keuntungan dari tindak pidana tersebut. Selain itu, harta pengurus dapat diblokir jika terdapat keterlibatan langsung atau jika pengurus bertindak untuk dan atas nama korporasi. Tidak hanya itu, harta pihak lain seperti nominee atau pihak afiliasi juga dapat dijangkau apabila terdapat bukti bahwa harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana. Dengan demikian, ruang lingkup pemblokiran dan penyitaan dapat meluas sesuai hasil penelusuran aset yang dilakukan penyidik.

0

Ketentuan agunan pada Kredit Usaha Rakyat Berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian No. 1 Tahun 2023

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 mengatur pedoman pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan pengaturan khusus mengenai jenis agunan yang wajib digunakan sebagai jaminan pembiayaan.

Jenis agunan dalam program KUR

1. Agunan Pokok

Agunan pokok adalah usaha atau objek yang dibiayai oleh KUR. Ketentuan ini berlaku khusus untuk nasabah KUR Super Mikro dan Mikro, yang memiliki plafon pinjaman kurang dari atau sama dengan Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Dengan demikian, jaminan pokok berasal langsung dari aset usaha yang dibiayai sehingga memudahkan pelaku usaha mikro untuk mendapatkan pembiayaan tanpa perlu menambah jaminan lain.

2. Agunan Tambahan

Agunan tambahan merupakan jaminan ekstra yang dapat diminta oleh penyalur KUR jika diperlukan, sesuai dengan kebijakan dan penilaian objektif penyalur. Ketentuan ini diberlakukan untuk nasabah dengan plafon pinjaman di atas Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Agunan tambahan ini memungkinkan pengelolaan risiko penyaluran kredit bagi pinjaman dengan nilai yang lebih besar.

Ketentuan larangan bagi lembaga jasa keuangan & koperasi penyalur KUR meminta agunan tambahan

Pasal 14 ayat (3) menegaskan bahwa agunan tambahan tidak diberlakukan bagi KUR dengan plafon kurang dari atau sama dengan Rp100.000.000. Hal ini merupakan bentuk kemudahan akses pembiayaan bagi usaha super mikro dan mikro agar tidak terbebani persyaratan jaminan yang berat.

Sanksi dan Pengawasan

Penyalur KUR yang meminta agunan tambahan untuk plafon pinjaman sampai Rp100 juta akan mendapatkan disinsentif berupa tidak dicairkannya bunga atau subsidi margin KUR yang bersumber dari APBN. Pengawasan terhadap hal ini dilakukan secara berkala tiap enam bulan oleh Forum Koordinasi Penyaluran KUR, Komite Kebijakan Pembiayaan UMKM, dan lembaga audit pemerintah. Ketentuan sanksi diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tabel Pembanding Ketentuan Agunan KUR Berdasarkan Plafon Pinjaman.

AspekKUR Plafon ≤ Rp100.000.000KUR Plafon > Rp100.000.000
Jenis AgunanAgunan pokokAgunan pokok dan agunan tambahan
Definisi Agunan PokokUsaha atau objek yang dibiayai KURUsaha atau objek yang dibiayai KUR
Penerapan Agunan TambahanTidak diberlakukanDapat diberlakukan sesuai penilaian objektif
Sanksi Jika Meminta Agunan TambahanDisinsentif: bunga/subsidi margin tidak dicairkanTidak berlaku sanksi khusus
PengawasanForum Koordinasi Pengawasan KUR, Komite Kebijakan Pembiayaan bagi UMKM, Otoritas Jasa Keuangan.Sama

Ketentuan dalam Pasal 14 ini menegaskan kemudahan akses pembiayaan untuk pelaku usaha mikro dengan pembebasan jaminan tambahan pada plafon sampai Rp100 juta, serta mekanisme pengelolaan risiko dan pengawasan ketat untuk pinjaman di atas plafon tersebut. Norma sanksi tegas juga sudah dibunyikan untuk menjaga kepatuhan penyalur agar tidak memberatkan pelaku usaha super mikro dan mikro secara tidak semestinya.

0

Putusan MK No. 132/PUU-XXII/2025: Tenggat Waktu Gugatan PHK Kini Lebih Jelas dan Pasti

Sengketa ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), merupakan salah satu isu paling sering muncul dalam praktik hubungan industrial. Dalam banyak kasus, pekerja atau buruh menghadapi kendala administratif ketika hendak mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), salah satunya terkait batas waktu (tenggang waktu) pengajuan gugatan.

Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 132/PUU-XXII/2025, ketentuan mengenai tenggat waktu tersebut diatur dalam Penjelasan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Penjelasan pasal 82 UU 2/2024 menjelaskan bahwa:

“Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pemutusan hubungan kerja.”

Ketentuan tersebut diperkuat melalui Putusan MK No. 94/PUU-XXI/2023, yang menegaskan keberlakuan jangka waktu satu tahun tersebut. Namun, penerapan ketentuan ini menimbulkan sejumlah persoalan di lapangan.

Banyak pekerja atau buruh yang tidak segera mengajukan gugatan ke PHI karena suatu kondisi tertnentu aproses mediasi atau konsiliasi di Dinas Ketenagakerjaan sering memakan waktu lama. Akibatnya, ketika proses non-litigasi belum selesai namun sudah melewati tenggang waktu satu tahun sejak tanggal PHK, gugatan mereka ditolak karena dianggap lewat waktu (daluarsa).

Kondisi inilah yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi pekerja, karena hak mereka untuk memperoleh penyelesaian melalui jalur hukum menjadi terhambat oleh faktor administratif di luar kendali mereka sendiri.

Atas dasar inilah kemudian diajukan permohonan pengujian konstitusional (judicial review) terhadap Penjelasan Pasal 82 UU No. 2 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diputus pada 17 September 2025.

Isi Pokok Putusan

Dalam putusan yang dibacakan pada 17 September 2025, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa:

  • Penjelasan Pasal 82 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan dalam waktu satu (1) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi.
PeriodeBunyi Pasal 82 UU PHIMekanisme  Penghitungan Tenggat WaktuDampak pada Pekerja/Buruh
Sebelum Putusan MK No. 132/PUU-XXII/2025“Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja […] dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya keputusan dari pengusaha.” ​Satu tahun sejak menerima atau diberitahu keputusan PHK dari pengusahaGugatan kedaluwarsa jika tidak diajukan dalam masa ini
Setelah Putusan MK No. 132/PUU-XXII/2025Makna baru: “Gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan mediasi/konsiliasi.” ​Satu tahun dihitung setelah proses mediasi atau konsiliasi gagal mencapai kesepakatanMemberikan waktu lebih panjang, hak pekerja lebih terjaga

Artinya, MK menegaskan bahwa tenggat waktu satu tahun baru mulai dihitung setelah proses mediasi atau konsiliasi dinyatakan gagal, bukan sejak tanggal PHK itu sendiri.

Implikasi Hukum Putusan MK.

Putusan ini membawa sejumlah konsekuensi penting dalam praktik hubungan industrial di Indonesia antara lain :

  1. Perlindungan hak pekerja lebih kuat

Pekerja memiliki waktu yang cukup untuk menempuh mekanisme penyelesaian sengketa secara damai (mediasi/konsiliasi) sebelum harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

  • Kepastian hukum bagi kedua belah pihak

Baik pekerja maupun pengusaha kini memiliki acuan yang jelas mengenai awal perhitungan tenggat waktu untuk mengajukan gugatan.

  • Mendorong penyelesaian  melalui jalur non-litigasi

Putusan ini sejalan dengan semangat UU PPHI, yang menempatkan mediasi dan konsiliasi sebagai prioritas utama sebelum perkara masuk ke ranah litigasi.

Said Law Office menilai putusan ini sebagai langkah progresif Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat asas keadilan substantif dan perlindungan hukum bagi pekerja.

Putusan tersebut sekaligus memperbaiki ketidakpastian hukum yang sebelumnya terjadi akibat beragam penafsiran terhadap tenggat waktu pengajuan gugatan PHK. Dengan demikian, pekerja tidak lagi dirugikan hanya karena proses mediasi memakan waktu lama, sementara pengusaha juga tetap memperoleh kepastian waktu penyelesaian sengketa.

Putusan MK No. 132/PUU-XXII/2025 menjadi tonggak penting dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Dengan menegaskan bahwa batas waktu pengajuan gugatan PHK dihitung sejak berakhirnya proses mediasi atau konsiliasi, Mahkamah Konstitusi telah menghadirkan keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi pekerja.

Bagi para pekerja, pengusaha, maupun praktisi hukum, penting untuk memahami implikasi putusan ini agar setiap langkah penyelesaian sengketa hubungan industrial dapat dilakukan secara tertib, sah, dan sesuai koridor hukum.

0

“MOVE ON” VERSI HUKUM

Kadang, move on bukan cuma soal perasaan tapi juga soal status hukum. Move on versi hukum artinya menyelesaikan sesuatu secara benar, tertib, dan berkeadilan. Karena dalam hukum, pergi tanpa menyelesaikan dengan baik bukanlah move on, tapi pelanggaran. Berikut beberapa contoh move on versi hukum yang bisa kamu pelajari!

1.Move On Versi Hukum: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Dalam dunia kerja, tidak semua perjalanan karier berjalan mulus. Kadang, perusahaan harus mengambil langkah berat: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, dalam perspektif hukum, PHK bukan sekadar perpisahan antara pekerja dan pengusaha, melainkan peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak.

PHK dan Akibat Hukumnya

Dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, setiap PHK harus dilakukan dengan dasar hukum yang sah serta memperhatikan hak-hak pekerja. Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, terdapat sejumlah akibat hukum yang wajib diselesaikan setelah PHK, antara lain:

1.) Hak atas Uang Kompenasi, Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak

Pekerja yang di-PHK berhak memperoleh hak-haknya sesuai alasan, status hubungan kerja dan masa kerja. Pengusaha wajib membayarkan hak tersebut sesuai ketentuan hukum.

2.) Hak atas Surat Keterangan Kerja

Setelah hubungan kerja berakhir, pekerja berhak menerima surat keterangan kerja sebagai bukti pengalaman kerja yang sah.

3.) Kewajiban Pengusaha Melaporkan PHK

Setiap PHK wajib dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan agar tercatat secara administratif dan dapat dipantau keabsahannya.

4.) Upaya Hukum Jika Terjadi Perselisihan PHK

Jika pekerja tidak menerima alasan PHK atau besaran hak pasca PHK, maka dapat menempuh upaya hukum berupa:

  • Perundingan Bipartit,
  • Mediasi oleh Dinas Ketenagakerjaan,
  • Konsiliasi atau Arbitrase,
  • Dan terakhir, Gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Banyak pekerja/perusahaan memilih “move on” begitu saja setelah adanya PHK tanpa menuntaskan aspek hukumnya. Padahal, tanpa penyelesaian hukum yang benar, hak-hak pekerja bisa terabaikan, dan pengusaha pun berisiko menghadapi gugatan hukum.

2. Move On Versi Hukum: Hapusnya Pidana dan Kebebasan Hukum yang Sah

Ketentuan mengenai hapusnya pidana diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut pasal tersebut, pidana hapus karena beberapa sebab, antara lain:

1.) Putusan Bebas atau Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Jika pengadilan memutus terdakwa bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtvervolging), maka tidak ada lagi dasar hukum untuk menjatuhkan pidana.

2.) Kedaluwarsa (Daluwarsa Penuntutan atau Pelaksanaan Pidana)

Negara kehilangan hak menuntut atau melaksanakan pidana karena jangka waktu yang telah ditentukan dalam hukum pidana telah lewat.

3.) Kematian Terpidana

Dengan meninggalnya terpidana, hak negara untuk menuntut atau melaksanakan pidana gugur demi hukum.

4.) Amnesti, Abolisi, atau Grasi

Tindakan hukum dari Presiden yang dapat menghapus atau meringankan hukuman pidana, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

5.) Pelaksanaan Putusan Pidana

Jika seseorang telah menjalani pidananya sepenuhnya, maka kewajiban hukum tersebut dianggap selesai, dan ia berhak atas pemulihan nama baik.

Ketika seseorang dinyatakan bebas atau pidananya hapus, bukan hanya kebebasan fisik yang penting, tetapi juga pemulihan hak-hak hukum (rehabilitasi). Rehabilitasi ini diatur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa seseorang yang dibebaskan dari tuntutan hukum berhak mendapatkan rehabilitasi atas nama baik, harkat, dan martabatnya.

Namun, dalam praktiknya, pemulihan hak hukum tidak otomatis terjadi. Diperlukan  prosedur tertentu dan akan lebih baik dengan pendampingan lawyer untuk memastikan Putusan bebas memiliki kekuatan hukum tetap, Proses administrasi rehabilitasi dijalankan oleh pengadilan, Hak-hak sosial dan profesional klien dipulihkan sepenuhnya.

3. Move On Versi Hukum: Lunasnya Utang melalui PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

Dalam dunia bisnis, jatuh bangun adalah hal yang biasa. Namun ketika arus kas tersendat dan kewajiban menumpuk, banyak pengusaha merasa terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung. Padahal, hukum menyediakan jalan untuk move on secara sah dan terhormat, yaitu melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

PKPU bukan sekadar menunda pembayaran, melainkan proses hukum yang memungkinkan debitor dan kreditur mencapai kesepakatan penyelesaian utang secara damai tanpa perlu masuk ke tahap kepailitan. Dengan PKPU, pelunasan utang dapat diatur, dinegosiasikan, dan disepakati sesuai kemampuan debitor serta kesepakatan bersama kreditur.

Mekanisme PKPU diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada debitor yang masih memiliki prospek usaha untuk melakukan restrukturisasi utang sebelum dinyatakan pailit. Dengan kata lain, PKPU memberikan waktu dan ruang bagi debitor untuk:

  1. Menyusun rencana perdamaian (composition plan);
  2. Menawarkan skema pembayaran utang kepada para kreditur;
  3. Menjaga kelangsungan usaha sambil menyelesaikan kewajiban secara bertahap.

Proses PKPU melibatkan aspek hukum dan ekonomi yang kompleks. Pendampingan lawyer kepailitan menjadi penting untuk memastikan:

  1. Pengajuan permohonan PKPU sesuai syarat formil dan materiil;
  2. Rencana perdamaian disusun dengan strategi realistis dan legal;
  3. Negosiasi dengan kreditur berjalan efektif;
  4. Proses pengesahan (homologasi) berjalan lancar di pengadilan niaga.

Dengan pendampingan hukum yang tepat, PKPU bukan sekadar menunda utang, melainkan menjadi solusi legal untuk restrukturisasi dan pelunasan secara terhormat.

4. Cerai: putusnya hubungan hukum antara suami dan istri

Perceraian sering dipandang sebagai akhir dari hubungan rumah tangga. Namun dalam pandangan hukum, perceraian bukan hanya soal berpisah secara emosional, tetapi juga perubahan status hukum yang memiliki akibat hukum nyata.

Banyak orang menganggap bahwa “pisah rumah” sudah cukup untuk menandakan berakhirnya pernikahan. Padahal, tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, status perkawinan masih sah di mata negara. Akibatnya, berbagai hak dan kewajiban hukum sebagai suami dan istri tetap melekat.

Mengapa Perceraian Harus Diselesaikan Secara Hukum?

Proses perceraian yang sah tidak hanya mengakhiri hubungan suami-istri, tetapi juga mengatur akibat hukum yang timbul setelah perceraian, seperti:

1.) Pembagian Harta Bersama (Gono-Gini)

Selama perkawinan, harta yang diperoleh bersama menjadi harta bersama. Setelah perceraian, harta tersebut harus dibagi secara adil berdasarkan kesepakatan atau melalui putusan pengadilan.

2.) Hak Asuh dan Nafkah Anak

Pengadilan akan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak untuk menentukan hak asuh dan kewajiban nafkah setelah perceraian. Keputusan ini penting agar hak anak tetap terlindungi.

3.) Perubahan Dokumen dan Status Hukum

Setelah perceraian, para pihak perlu mengurus perubahan data pada KTP, Kartu Keluarga, hingga dokumen administratif lainnya agar status hukum sesuai dengan keadaan yang baru.

Demikian beberapa contoh move on versi hukum kami sajikan untuk kamu, pastikan move on versi hukum kamu berjalan dengan baik dan sesuai aturan !

Apa move on versi hukum punya kamu?

Ada kendala? konsultasikan move on versi hukum kamu kepada kami!

𝑾𝑬 𝑫𝑶 𝑨𝑵𝑫 𝑺𝑷𝑬𝑨𝑲 𝒀𝑶𝑼𝑹 𝑳𝑨𝑵𝑮𝑼𝑨𝑮𝑬
📧 info.saidlawoffice@gmail.com
🪩 saidlawoffice.com

0

Praperadilan: Upaya Perlindungan atas Tindakan Sewenang-wenang Aparat Penegak Hukum

Pendahuluan

Dalam proses peradilan pidana, sering kali muncul pertanyaan mengenai keabsahan tindakan aparat penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, hingga penghentian penyidikan. Untuk menjamin hak asasi dan kepastian hukum bagi warga negara, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyediakan instrumen hukum yang disebut Praperadilan.

Praperadilan merupakan wujud dari prinsip due process of law, yaitu jaminan bahwa setiap tindakan penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan hukum, bukan atas dasar kekuasaan semata.

Dasar Hukum Praperadilan

Dasar hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Pasal 77 KUHAP menegaskan bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus hal-hal berikut:

  • Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
  • Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Selanjutnya, Pasal 78 KUHAP menyebut bahwa kewenangan ini dilaksanakan melalui mekanisme praperadilan, yang dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri, serta dibantu oleh seorang panitera.

Pihak yang Dapat Mengajukan Praperadilan

Berdasarkan Pasal 79 sampai dengan Pasal 81 KUHAP, permohonan praperadilan dapat diajukan oleh:

  • Tersangka,
  • Keluarga tersangka, atau
  • Kuasa hukum tersangka.

Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan permintaan pemeriksaan, baik terkait:

  • keabsahan penangkapan atau penahanan (Pasal 79),
  • keabsahan penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80), maupun
  • permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi (Pasal 81)

Selain itu, penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan juga dapat mengajukan permohonan untuk menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Prosedur Pemeriksaan Praperadilan

Prosedur pemeriksaan diatur dalam Pasal 82 KUHAP, dengan ketentuan sebagai berikut:

Penetapan Hari Sidang: Dalam waktu tiga hari sejak permohonan diterima, hakim yang ditunjuk wajib menetapkan hari sidang.

Pemeriksaan Cepat: Pemeriksaan dilakukan secara cepat, dan putusan harus dijatuhkan paling lama tujuh hari sejak sidang dimulai.

Pemeriksaan Substansi: Hakim akan mendengar keterangan dari pemohon (tersangka atau pihak yang dirugikan) dan pejabat yang berwenang (penyidik atau penuntut umum).

Putusan Gugur: Apabila perkara pokok sudah diperiksa oleh pengadilan sebelum praperadilan selesai, maka permohonan praperadilan gugur.

Kemungkinan Permohonan Baru: Putusan praperadilan di tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan diajukannya praperadilan baru di tingkat penuntutan.

Isi dan Akibat Putusan Praperadilan

Putusan hakim praperadilan harus memuat alasan dan dasar hukum yang jelas, serta ketentuan sebagai berikut (Pasal 82 ayat (3) KUHAP):

  • Jika penangkapan atau penahanan dinyatakan tidak sah, penyidik atau penuntut umum wajib segera membebaskan tersangka.
  • Jika penghentian penyidikan atau penuntutan dinyatakan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan wajib dilanjutkan.
  • Jika penangkapan atau penahanan tidak sah, hakim dapat menetapkan besaran ganti kerugian dan rehabilitasi.
  • Jika penghentian penyidikan atau penuntutan sah, hakim dapat menetapkan rehabilitasi bagi tersangka.
  • Jika ada benda sitaan yang tidak termasuk alat bukti, maka hakim memerintahkan pengembaliannya kepada yang berhak. Sifat dan Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan

Sifat dan Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan

Menurut Pasal 83 KUHAP, pada dasarnya putusan praperadilan bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. Namun, terdapat pengecualian yaitu apabila putusan praperadilan menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, maka terhadap putusan tersebut dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi di wilayah hukum yang bersangkutan.

Pentingnya Praperadilan

Praperadilan berfungsi sebagai instrumen kontrol yudisial (judicial control) terhadap tindakan aparat penegak hukum, sekaligus sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional warga negara.

Dalam praktiknya, praperadilan sering diajukan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, keabsahan penangkapan dan penahanan, serta keabsahan penghentian penyidikan oleh penyidik. Lahirnya beberapa putusan penting Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, memperluas objek praperadilan hingga mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, yang sebelumnya tidak secara eksplisit disebut dalam KUHAP. Dengan demikian, praperadilan memiliki peran vital dalam memastikan penegakan hukum yang adil, proporsional, dan menghormati hak asasi manusia

Kesimpulan

Praperadilan adalah mekanisme penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang menjamin adanya kontrol yudisial terhadap tindakan aparat penegak hukum. Melalui pengaturan dalam Pasal 77–83 KUHAP, mekanisme ini menegakkan prinsip legalitas, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia. Sebagai warga negara, memahami hak untuk mengajukan praperadilan berarti memahami cara melindungi diri dari potensi penyalahgunaan kewenangan.

Konsultasikan kebutuhan hukum kamu kepada Kami!

WE DO AND SPEAK YOUR LANGUAGE
📧 info.saidlawoffice@gmail.com
🪩 saidlawoffice.com

Ditulis oleh: Iqbal Syariefudin, S.H (Associate Said Law Office)

1 2