0

Bentuk Tindak Pidana Perpajakan dan Ketentuan Pemblokiran Harta Kekayaan Menurut UU KUP dan PMK 17/2025

Tindak pidana perpajakan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara, baik karena kealpaan maupun kesengajaan. Dalam konteks penegakan hukum perpajakan, Undang–Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 memberikan batasan tegas mengenai bentuk tindak pidana serta sanksi yang menyertainya. Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun 2025 mengatur lebih lanjut mengenai upaya paksa dalam penyidikan, termasuk pemblokiran dan penelusuran harta kekayaan.

Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perpajakan dalam UU KUP

Tindak Pidana Perpajakan yang Dilakukan Karena Kealpaan (Pasal 38)

Pasal 38 mengatur tindak pidana yang terjadi karena kelalaian, bukan karena niat jahat. Perbuatan ini tetap dipandang berpotensi merugikan negara. Bentuk perbuatannya dapat berupa a.) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), b.) Menyampaikan SPT namun isinya tidak benar, tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar. Perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi berupa denda paling sedikit 1 (satu) dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Kealpaan tetap dikenai sanksi pidana sebagai wujud penegakan hukum preventif untuk menjaga kepatuhan wajib pajak.

Tindak Pidana Perpajakan karena Kesengajaan (Pasal 39)

Pasal 39 menegaskan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga memiliki konsekuensi pidana yang lebih berat. Bentuk Perbuatannya dapat berupa:

  1. Tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP.
  2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP.
  3. Tidak menyampaikan SPT.
  4. Menyampaikan SPT atau keterangan tidak benar/tidak lengkap.
  5. Menolak pemeriksaan pajak.
  6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen palsu.
  7. Tidak menyelenggarakan pembukuan/catatan.
  8. Tidak menyimpan buku/catatan/dokumen dasar pembukuan.
  9. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Tindakan tersebut dapat dikenai sanki berupa pidana penjara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sampai dengan maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda 2 sampai dengan 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar juga dapat dikenai Pidana Tambahan sebagaimana (39 Ayat 2): Jika pelaku mengulangi tindak pidana dalam waktu kurang dari 1 tahun sejak menyelesaikan pidana penjara, sanksi diperberat menjadi dua kali.

Tindak Pidana dalam rangka permohonan Restitusi (Ayat 3):

Bagi setiap orang ataupun korporasi yang mencoba menyalahgunakan NPWP/PKP atau menyampaikan data tidak benar dalam permohonan restitusi atau kompensasi pajak dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Tindak Pidana Terkait Faktur Pajak (Pasal 39A)

Pasal 39A secara khusus menangani kejahatan yang sering terjadi dalam praktik, yaitu penerbitan dan penggunaan faktur pajak fiktif. Bentuk perbuatannya dapat berupa menerbitkan atau menggunakan faktur/bukti pemungutan/pemotongan/setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tanpa dikukuhkan sebagai PKP. Terhadap perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun paling lama  6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak yang tercantum dalam faktur atau bukti terkait.

Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Pengamanan harta kekayaan tersangka tindak pidana perpajakan merupakan bagian penting dalam proses penyidikan tindak pidana perpajakan untuk mencegah pelaku memindahkan, mengalihkan, atau menyembunyikan aset yang dapat digunakan untuk memulihkan kerugian negara.

Definisi Pemblokiran (Pasal 1 angka 31 PMK 17/2025)

Pemblokiran adalah tindakan pengamanan barang yang dikelola oleh lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain, yang meliputi rekening bagi bank, subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan/atau entitas lain, dengan tujuan agar terhadap barang dimaksud tidak terdapat perubahan apa pun, selain penambahan jumlah atau nilai.

Definisi Penyitaan (Pasal 1 angka 32 PMK 17/2025)

Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan/atau jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Dasar Pemblokiran (Pasal 10 PMK 17/2025)

Pemblokiran harta kekayaan tersangka dalam tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 10 PMK 17/2025 tentang Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang bertujuan untuk pembuktian atau jaminan pemulihan kerugian negara, permintaan pemblokiran dimaksud disampaikan kepada instansi pengelola data harta kekayaan seperti BPN untuk asset kekayaan berupa tanah dan bangunan, Bank untuk asset berupa kekayaan dalam bentuk uang, POLRI apabila harta kekayaan berupa kendaraan bermotor dan instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan pelaku tindak pidana perpajakan. Pemblokiran dimaksud dapat diminta untuk dibukakan apabila sudah tidak diperlukan lagi.

Penelusuran Harta Kekayaan (Pasal 12 PMK 17/2025)

Penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penelusuran harta kekayaan sebagai dasar tindakan pemblokiran atau penyitaan. Penelusuran ini mencakup identifikasi asal-usul, keberadaan, dan kepemilikan harta kekayaan, sehingga memungkinkan penyidik menelusuri aliran aset secara menyeluruh. Dengan kewenangan tersebut, penyidik dapat melacak harta yang disamarkan, dialihkan, atau ditempatkan pada pihak ketiga, guna memastikan bahwa seluruh aset yang terkait tindak pidana tetap dapat diamankan untuk kepentingan pembuktian maupun pemulihan kerugian negara.

Siapa yang Hartanya Dapat Diblokir atau Disita?

Walaupun PMK 17/2025 tidak mengatur secara eksplisit mengenai subjek harta yang dapat diblokir atau disita, praktik penegakan hukum dan ketentuan pidana yang berlaku menunjukkan bahwa kewenangan tersebut dapat mencakup berbagai pihak. Harta kekayaan tersangka, baik orang pribadi maupun korporasi, dapat diblokir atau disita sepanjang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan. Harta korporasi juga dapat dikenai blokir apabila korporasi menjadi pelaku atau memperoleh keuntungan dari tindak pidana tersebut. Selain itu, harta pengurus dapat diblokir jika terdapat keterlibatan langsung atau jika pengurus bertindak untuk dan atas nama korporasi. Tidak hanya itu, harta pihak lain seperti nominee atau pihak afiliasi juga dapat dijangkau apabila terdapat bukti bahwa harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana. Dengan demikian, ruang lingkup pemblokiran dan penyitaan dapat meluas sesuai hasil penelusuran aset yang dilakukan penyidik.